MAKALAH IDDAH
A.
PENGERTIAN IDDAH
Secara harfiah, iddah berarti menghitung. Menurut
islam, iddah berarti masa menunggu
yang harus dilalui seorang wanita setelah bercerai atau ditinggal suaminya
meninggal. Saat melalui masa iddah wanita dilarang keluar rumah (kecuali dalam
keadaan darurat) ataupun menikah lagi.
B.
JENIS-JENIS IDDAH
1.
Iddah
Wanita Yang Ditinggal Mati Suaminya
Wanita yang
ditinggal mati oleh suaminya apabila dalam keadaan hamil, maka iddahnya dengan
kelahiran kandungannya. Dan jika tidak hamil, maka iddahnya empat bulan sepuluh
hari.[1]
Dalil iddah
wanita hamil yang tinggal mati suaminya dengan kelahiran kandungannya adalah
Al-Qur’an dan Hadits Nabi Saw. Allah Saw Berfirman:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
“Dan
perempuan-perempuan hamil, masa iddah mereka ialah sampai mereka melahirkan
kandungannya.”(QS. At-Thalaq:4)
Dalam Hadits disebutkan:
“dari Miswar bin Makhramah ra.: “Sesungguhnya
Subai’ah al-Islamiyyah melahirkan beberapa malam setelah kematian suaminya,
kemudian ia menghadap kepada Nabi Saw. Meminta izin untuk menikah, beliau
memberinya izin, Subai’ah lalu menikah.” (HR.
BUKHORI)
Dalam Riwayat lain disebutkan :
“Bersumber dari Ibnu Syibah
yang mendapatkan cerita dari Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas’ud:bahwa
sesungguhnya ayahnya berkirim surat Umar bin Abdullah bin Arqam Az-Zuhri,yang
isinnya meminta umar supaya menemui Subai’ah binti Al-Harits Al-Aslami untuk
menanyakan padanya mengenai ceritanya dan juga mengenai sabda Rasulullah Saw ketika
ia meminta fatwa kepada beliau.Setelah mendapat jawaban dari wanita itu,Umar
bin Abdullah bin Al-Arqam lalu membalas surat Abdullah bin Utbah sebagai
berikut:”sesungguhnya Subai’ah binti al Harits adalah istri Sa’d bin Khaulah
dari bani Amir bin Lu’ayyin.Dia termasuk salah seorang yang ikut pertempuran
Badar.Suwaminya itu meninggalkannya pada waktu haji wada’ dan pada saat itu ia
sedang hamil.Setelah kematian suaminya,tidak berapa lama kemudian ia
melahirkan.Ketika ia sudah merasa sehat dan bebas dari nifasnya,ia lalu dandan
dan menemui Umar bin Al Khathtab .Kebetulan pada waktu itu seorang laki-laki
dari Bani abduddar bernama Abu Sanabil bin Bu’kak sedang berada disana.Lelaki
itu berkata kepada subai’ah:”Aku lihat kamu sudah berdandan ya?barang kali kamu
sudah ingin menikah lagi.Demi Allah,sesungguhnya kamu belum belum boleh menikah
lagi sampai kamu menjalani masa iddahmu selama empat bulah sepuluh hari.”Kata
Subai’ah:”ketika mendengar ucapan lelaki itu,segerah aku kumpulkan pakaianku
dan saat itu juga aku menemui Rasulullah Saw kemudaian memberikan fatwa
kepadaku bahwa masa iddahku sudah berahir dengan sendirinya karena aku
melahirkan.beliau menyuruhku menikah lagi jika memang aku mau.(HR.MUSLIM)”[2]
Menurut ibnu Syibah,tidak apa
hukumnya jika ia menikah lagi begitu ia selesai melahirkan,sekalipun ia masih
mengeluarkan darah.Akan tetapi suaminya tidak boleh menggaulinya sebelum ia
suci terlebih dahulu.
Dalil iddah wanita yang ditinggal
mati suaminyaa yang tidak hamil dengan masa empat bulan lebih sepuluh hari
adalah firman Allah Swt.:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا
يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِي
أَنْفُسِهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (البقرة : 234).
“Orang-orang yang meninggal di antara kamu
dan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya
(melakukan iddah) selama empat bulan dan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.”(QS.Al-Baqarah:234)
2.
Iddah
Wanita Yang Dicerai Suaminya
Wanita yang bukan karena ditinggal mati suaminya,
bila ia hamil, maka iddahnya dengan kelahiran
kandungannya. Dan jka tidak hamil dan masih biasa mengalami haid, maka
iddahnya tiga kali quru’, arti quru’ adalah masa suci dari haid. Apabila masih
kecil atau sudah tidak bisa haid (monopause), maka iddahnya tiga bulan.[3]
Dasar ketentuan hukum ini adalah
fieman Allah Swt.:
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ
بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا
خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُن يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا
وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ
دَرَجَةٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (٢٢٨)
“Wanita-wanita yang ditalak
hendaklah menahan diri (iddah) tiga kali quru’. Mereka tidak boleh
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari kiamat.”(QS.
A-Baqarah: 228)
Dalil masa iddah wanita kecil
(belum haid) dan wanita putus haid (monopause) adalah firman Allah Swt.:
وَاللَّائِي
يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ
ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ۚ وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ
أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ
مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا (الطلاّق :٤)
“dan perempuan-perempuan yang putus
dari haid di antara permpuan-permpuan jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula)
perempuan-perempuan yang tidak haid.” (QS.
At-Thalaq: 4)
3.
Iddah
Wanita Tercerai Sebelum Disetubuhi
Wanita yang ditalak sebelum
disetubuhi itu tidak ada kewajiban iddah.[4]
Dasar ketentuan hukum ini adalah
firman Allah Swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا
نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ
تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا
فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (الاحزاب : ٤٩)
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka
sebelum kamu menyetubuhinya, sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya, berilah mereka mut’ah dan lepaskan mereka
dengan cara sebaik-baiknya.”(QS.
Al-Ahzab: 49
4.
Iddah
Wanita Budak
Iddah hamba sahaya perempuan yang hamil adalah
seperti iddah perempuan merdeka, yaitu dengan kelahiran kandungannya. Apabila
hamba sahaya perempuan itu masih haid, maka iddahnya dua quru’, dan hamba
sahaya yang iddahnya dengan ketentuan bulan, maka jika karena kematian, maka iddahnya
dua bulan lebih lima hari dan jika karena diceraikan maka iddahnya satu bulan
lima belas hari, tetapi apabila ia iddah selama dua bulan maka lebih baik.
Dasar idah hamba sahaya perempuan
dengan hanya dua kali quru’ adalah keputusan yang pernah ditetapkan oleh Umar
bin Khathab dan puteranya dengan ucapan mereka: “Hamba sahaya permpuan itu iddahnya dua kali quru’.” Tak seorangpun
dari kalangan sahabat Nabi Saw yang memprotesnya, maka keputusan ini menjadi
ijma’. Selain itu sebagian besar hukum yang berkaitan dengan hamba sahaya
adalah setengah dari hukuman yang ditetapkan pada orang-orang merdeka. Dan juga
dikiaskan pada hamba sahaya laki-laki yang hanya mempunyai hak menjatuhkan
talak sebanyak dua kali.
Dasar iddah (dengan bulan) hamba
sahaya perempuan karena diceraikan hanya satu setengah bulan adalah dikiaskan
pada hamba sahaya permpuan yang masih haid dalam hal setengah.
Adapun iddah dasar keutamaan iddah
dua bulan adalah karena iddah dengan bulan itu, ganti daripada iddah dengan
quru’. Perempuan merdeka iddah tiga
bulan sebagai ganti iddah tiga quru’, maka demikian juga hamba sahaya perempuan
sebaiknya iddah dua bulan sebagai ganti dua kali quru’.[5]
C. HIKMAH IDDAH
Adapun
hikmah dan tujuan diwajibkanya iddah itu adalah sebagaimana dijelaskan dalam
salah satu definisi yang disebutkan diatas yaitu:
Pertama: untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan tersebut dari
dari bibit yang ditinggalkan mantan suaminya. Hal ini disepakati oleh ulama.
Pendapat ulama pada saat itu didasarkan pada dua alur pikir:
1. Bibit yang ditinggal oleh mantan
suami dapat berbaur dengan bibit yang orang yang mengawininya untuk
menciptakan satu janin dalam perut perempuan tersebut. Dengan pembaruan itu
diragukan anak siapa sebenarnya dikandung oleh perempuan tersebut. Untuk
menghindarkan perbauran bibit itu, maka perlu diketahui atau diyakini bahwa
sebelum perempuan itu kawin lagi rahimnya bersih dari peninggalan mantan
suaminya.
2. Tidak ada cara untuk
mengetahui apakah perempuan yang baru berpisah dari suaminya mengandung bibit
dari mantan suaminya atau tidak kecuali dengan datangnya beberapa kali haid
dalam masa itu. Untuk itu diperlukan masa tunggu.
Alur
pikir pertama tersebut di atas tampaknya waktu ini tidak relevan lagi karena
sudah diketahui bahwa bibit yang akan menjadi janin hanya dari satu bibit dan
berbaurnya beberapa bibit dalam rahim tidak akan mengaruhi bibit yang sudah
memproses menjadi janin itu. Demikian pula alur pikir kedua tidak relevan lagi
karena waktu ini sudah ada alat yang canggih untuk mengetahui bersih atau
tidaknya rahim perempuan dari mantan suaminya. Meskipun demikian, iddah tetap
diwajibkan dengan alasan di bawah ini.
Kedua: untuk taabud,
artinya semata untuk memenuhi kehendak dari Allah meskipun secara rasio kita
mengira tidak perlu lagi. Contoh dalam hal ini, umpanya perempuan yang kematian
suami dan belum digauli oleh suaminya itu, masih tetap wajib menjalani masa
iddah, meskipun dapat dipastikan bahwa mantan suaminya tidak meninggalkan bibit
dalam rahim istrinya itu.
Adapun hikmah yang dapat diambil
dari ketentuan iddah itu adalah agar suami yang telah menceraikan istrinya itu
berpikir kembali dan menyadari tindakan itu tidak baik dan menyesal atas
tindakannya itu. Dengan adanya iddah dia dapat menjalin kembali hidup
perkawinan tanpa harus mengadakan akad baru.
0 komentar:
Post a Comment