MAKALAH FASAKH PERSPEKTIF ISLAM

MAKALAH FASAKH PERSPEKTIF ISLAM

A.          Definisi Fasakh
     Secara etimologi fasakh berasal dari bahasa arab “faskh” yang berarti merusakkan atau membatalkan[1]. Jadi, fasakh secara terminologi ialah merusakkan atau membatalkan hubungan pernikahan yang telah berlangsung. Fasakh dapat terjadi karena terdapat hal-hal yang membatalkan akad nikah yang dilakukan dan dapat pula tejadi karena sesuatu hal yang baru dialami sesudah akad nikah dilakukan.
B.            Sebab-sebab terjadinya fasakh
     Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika berlangsung akad nikah, atau karena hal-hal lain yang datang kemudian dan membatalkan kelangsungan    perkawinan.
1.             Fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi ketika akad nikah.
- Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara kandung atau  saudara     sesusuan          pihak   suami.
- Suami istri yang masih kecil dan diadakannya nikah oleh selain ayah datuknya. Kemudian setelah dewasa ia berhak meneruskan ikatan perkawinannya atau mengakhirinya. Cara seperti ini disebut khiyar baligh.
2.             Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad.
- Bila salah seorang dari suami istri murtad atau keluar dari agama Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akad nikah menjadi batal (fasakh) karena kemurtadan  yang terjadi  belakangan.
- Jika suami yang tadinya tidak beragama Islam kini menjadi muslim, tetapi istri tetap menjadi musyrik, maka akad nikah menjadi batal (fasakh). Lain halnya jika istri seorang suami muslim adalah seorang ahli kitab, maka akad nikah tetap sah seperti semula sebab perkawinannya dengan ahli kitab dalam Islam dipandang sah.
Di samping itu, fasakh juga bisa terjadi karena seorang istri meminta keputusan pengadilan dengan sebab-sebab sebagai berikut:
a.              Karena mempunyai cacat berupa penyakit, seperti gila, kusta, epilepsi (ayan), balaqk (penyakit belang kulit), sakit kelamin, impotensi atau ketidak normalan kelamin   dengan berbagai bentuk dan macamnya.
b.             Suami mafqud, hilang tanpa berita di mana tempatnya dan apakah masih hidup atau telah meninggal dunia dalam waktu cukup lama (misalnya selama empat tahun).
c.              Istri merasa tertipu, baik mengenai nasab keturunan, kekayaan, atau kedudukan suami
d.             Perkawinan yang dilakukan oleh wali dengan laki-laki yang bukan jodohnya. Misal, budak dengan orang yang merdeka, orang pezina dengan orang terpelihara, dan sebagainya.
e.              Suami jatuh miskin hingga tidak mampu memenuhi kewajiban nafkah terhadap istri.
Fasakh dapat pula diminta oleh pihak suami kepada pengadilan karena sebab-sebab tertentu, misalnya suami merasa tertipu bahwa istrinya yang pernah mengatakan masih gadis ternyata sudah bukan gadis lagi. Istrinya yang dulu tampak berambut indah, ternyata setelah kawin diketahui rambutnya palsu dan sebenarnya tidak berambut sama sekali. Istri yang mengaku anak kandung orang yang mengasuhnya, ternyata setelah kawin diketahui hanya anak pungut atau anak angkat. Secara garis besar, suami kemudian memahami bahwa pada istrinya terdapat hal-hal yang tidak mungkin mendatangkan ketentraman dan pergaulan baik dalam     kehidupan pernikahan.
Apabila terdapat hal-hal atau kondisi penyebab fasakh itu jelas dan dibenarkan syara’, maka untuk menetapkan fasakh tidak diperlukan keputusan pengadilan. Misalnya, diketahui adanya mahram antara suami dan istri karena hubungan sesusuan dan senasab. Akan tetapi jika terjadi hal-hal seperti berikut, maka      pelaksanaannya adalah:
1.             Jika tidak memberi nafkah bukan karena kemiskinannya, sedangkan hakim telah pula memaksa dia untuk itu, maka dalam hal ini hendaklah diadukan terlebih dahulu kepada pihak yang berwenang.
2.             Setelah hakim memberi janji kepada suami sekurang-kurangnya tiga hari, mulai dari hari istri itu mengadu. Jika masa perjanjian itu telah habis, sedangkan si suami tidak juga dapat menyelesaikannya, barulah hakim mefasakhkan dimuka hakim setelah diijinkan olehnya.
C.           Hubungan anak dan orang tua yang dijatuhi fasakh
Ketika pengadilan telah menjatuhkan fasakh kepada pasangan suami istri, maka jelas bahwa pembatalan akad nikah seketika dan secara langsung sama seperti halnya talak ba’in[2]. Namun Dalam Islam, hukum memelihara anak adalah satu kewajiban ibu dan bapak karena seorang anak memerlukan asuhan dan kasih sayang ketika dalam proses pertumbuhan hidupnya. Dan Persoalan yang timbul ialah siapa yang berhak memelihara dan menjaga anak jika ibu dan bapak bercerai-berai?
Menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar,
'Bahawasanya seseorang perempuan telah datang menemui Rasulullah saw dan bertanya: 'Ya Rasulullah, bahwa anankku ini, perutkulah kandungannya, susukulah minumannya dan ribaanku rumahnya tetapi bapaknya telah menceraikan aku dan hendak merampas anak itu daripada aku'. Selepas mendengar aduan itu Rasulullah saw bersabda,'Engkaulah yang lebih berhak menjaga anak itu selagi engkau belum menikah lain'.
(Riwayat Abu Daud)
Hadits ini menjelaskan bahwa seorang ibu lebih berhak terhadap pemeliharaan anak daripada ayah.. Islam mengutamakan perempuan dalam hal hadhanah[3] karena ibu lebih sayang kepada anaknya, lebih tahu bagaimana mendidiknya dan lebih sabar dalam mengasuh anaknya daripada ayah. Demikian juga mempunyai masa yang luas berdampingan dan bermanja dengan anak-anak berbanding dengan bapak yang selalu sibuk dengan tugas di luar.
Menurut para fuqaha, apabila pemeliharaan anak berada dalam hak seorang ibu maka kerabat ibu juga lebih berhak mengasuh daripada kerabat ayah. Namun seorang ibu juga harus memenuhi 7 syarat-syarat dalam kelayakan hak hadhonah, diantaranya berakal, merdeka, beragama, lemah lembut, amanah, tidak bersuami, dan bermukim. Jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka hak anak dapat diserahkan kepada nenek (orang tua ibu).
Jika seorang anak telah beranjak dewasa (mumayyiz)[4] hak penjagaan anak yaitu dengan  memberi pilihan kepada anak-anak tersebut untuk memilih hidup bersama ayah            atau     ibunya, berdasarkan   sebuah hadits:
'Bahawa Rasulullah saw telah menyuruh seorang anak yang sudah mumaiyyiz supaya memilih hidup bersama  ibu atau bapak yang dia suka'.
(Riwayat Tirmizi dan Ibnu Majah)
Demikian pandangan Ibnu Qaiyim, “Sesungguhnya setiap penjaga dan anak jagaan masing-masing mempunyai hak. Akan tetapi hak anak atau kemaslahatan anak lebih penting dari hak penjaganya”.[5]
Ulama Syafi’iyah berkata: Apabila anak tersebut laki-laki dan ia memilih ibunya, anak itu boleh tinggal di tempat ibunya pada malam hari, dan pada siangnya bapak boleh mengambilnya untuk disekolahkan atau bekerja. Karena tujuan mengasuh anak adalah untuk kebaikan. Apabila si anak memilih bapaknya maka anak tersebut akan tinggal bersama bapaknya siang dan malam, tetapi tidak boleh seorang bapak tidak boleh mencegah si anak apabila ia ingin menjenguk ibunya. Karena pencegahan tersebut akan menyebabkan si anak derhaka kepada ibunya dan memutuskan hubungan dengan ibunya. Apabila si anak sakit maka ibu lebih berhak untuk merawatnya kerana sakitnya itu menyebabkan si anak seperti anak kecil yang memerlukan layanan, kerana itu seorang ibu lebih berhak mengasuhnya. Apabila anak tersebut perempuan dan ia memilih salah satu antara dua orang tuanya maka ia boleh untuk tinggal di rumah ibu atau bapaknya, asalkan tidak terlalu lama. Karena perceraian antara suami isteri menyebabkan kedua bekas suami isteri itu tidak sesuai untuk berada di satu tempat. Apabila anak perempuan itu sakit maka ibunya lebih berhak merawat di rumahnya. Apabila salah satu orang tuanya sakit sedangkan si anak tidak serumah dengannya maka si anak tidak boleh dicegah untuk menjenguknya atau untuk hadir di tempat orang tuanya yang meninggal dunia.




[1] Lihat KH. Ahmad Azhar Basyir dalam buku Hukum Perkawinan Islam, hal 85
[2] Talak yang telah dijatuhkan tiga kali dan tidak boleh rujuk kepada bekas istrinya, kecuali setelah bekas istrinya itu melakukan perkawinan dengan laki-laki lain dan telah melakukan persetubuhan dengan suami yang baru itu, kemudian terjadi perceraian. 
[3] Hak pengasuhan anak.
[4] Seorang anak laki-laki yang berusia 7 tahun dan seorang anak perempuan yang berusia 9 tahun
[5] Lihat Syaikh Sabiq dalam kitab Fiqh Assunnah, juz 8, hal 219

0 komentar:

Post a Comment